HIKAM - ADAB SALIK TERHADAP ALLAH
30. TUNTUTAN DAN PENCARIAN
طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ وَطَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ مِنْكَ عَنْهُ وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ وَطَلَبُكَ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُوْدِ بُعْدِكَ مِنْهُ
Menuntut sesuatu dari-Nya menunjukkan kecurigaanmu kepada-Nya. Pencarianmu kepada-Nya menunjukkan kamu tidak melihat-Nya. Pencarianmu kepada selain-Nya menunjukkan minimnya rasa malu terhadap-Nya. Menuntut sesuatu dari selain-Nya menunjukkan jauhnya kamu daripada-Nya.
Hikmah 30 membahas tentang adab salik terhadap Allah yang ke lima. Yaitu merasa cukup dengan pengetahuan Allah dan sudah tidak butuh kepada selain-Nya. Karena itu, tidak ada lagi tuntutan atau pencarian. Sebab menuntut sesuatu dari Allah dengan kerendahan diri dan bersungguh hati menunjukkan kecurigaan kepada Allah. Munculnya tuntutan itu karena khawatir Allah mengabaikan atau melupakannya. Allah talah memberi jaminan bahwa Dia tidak akan pernah mengabaikan atau melalaikan seluruh hamba-Nya. Allah belum pernah dan tidak akan pernah menelantarkan atau lalai untuk memperhatikan dan mengurus seluruh makhluk-Nya. Bukankah tuntutan itu juga bisa bermakna memperingatkan untuk memberi ? Padahal sudah pasti bahwa Allah tidak akan menelantarkan atau pun lalai. Allah berfirman:
وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ﴿٨٥﴾
Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan (Ayat 74, 85, 140, 144, 149 : Surat al-Baqarah & Ayat 99 : Surat Ali Imran)
أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah yang mencukupi hamba-Nya? (Ayat 36 : Surat az-Zumar)
Rasulullah bersabda di dalam hadits qudsy:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِيْ عَنْ مَسْأَلَتِيْ أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ
Sungguh Allah berfirman: "Orang yang dzikirnya kepada-Ku menjadikan sibuk (hingga tidak sempat) mengajukan permohonan kepada-Ku maka akan Aku berikan kepadanya sesuatu yang lebih utama dari yang Aku berikan kepada orang orang yang mengajukan permohonan."
Diam dan tenang dalam arus takdir, menurut orang yang ma'rifat, itu lebih utama dari pada merendahkan diri mengajukan permohonan dengan kesungguhan hati.
Sementara mengenai doa yang menjadi intisari ibadah, yang merupakan perintah Allah harus difahami sebagai bentuk pengabdian, menunaikan perintah dan memperlihatkan jati dirinya yang padanya melekat sifat membutuhkan, bukan berarti memohon anugerah yang menjadi bagiannya. Sebab apa pun yang telah dibagikan Allah pasti akan sampai kepada yang berhak. Meskipun andai saja ia memohon untuk menolaknya tentu Dia tidak akan meluluskannya.
Pencarian kepada Allah dengan penelitian dan pencarian dalil menunjukkan tidak melihat Allah sebab wujud dirinya. Andai saja hatinya bisa fokus dan lenyap dari memperhatikan dirinya dan segala prasangka (waham) nya pasti tidak akan dapat menemukan selain-Nya.
Pencarian kepada selain Allah dengan jalan mengenal dan menghadap menunjukkan minimnya rasa malu kepada Allah. Sebab Dia telah memanggilnya untuk hadir di hadapan-Nya. Sementara yang dipanggil lari dari-Nya menuju pada kelalaian. Ibarat seseorang yang hadir di hadapan sang raja. Raja telah menghadap kepadanya, tetapi ia ingin keluar dari sisinya dan melirik kepada selainnya. Sikap ini menunjukkan tidak punya rasa malu dan tidak memperhatikan raja. Orang seperti ini layak untuk di usir dari depan pintunya atau didepak ke tempat pelatihan hewan. Para sufi telah memberi nasihat; "Lupakan orang yang kamu kenal. Jangan kamu mengenalkan diri kepada orang yang tidak kamu kenal."
Pencarian seperti ini juga menunjukkan merasa tidak tenteram bersama Allah. Sebab bila ia merasa nyaman bersama Allah pasti akan lari dari makhluk-Nya, tidak akan ditemukan tuntutan untuk mengenal mereka dan akan menghindar dari mereka. Menghadap kepada Allah berarti membelakangi makhluk. Sedangkan menghadap kepada makhluk berarti membelakangi Allah.
Sementara menuntut sesuatu dari selain Allah dengan menempel dan meminta kepadanya itu menunjukkan jauh dari Allah. Sebab bila telah nyata dekat dengan-Nya, padahal Allah maha dermawan, niscaya tidak akan butuh untuk meminta kepada selain-Nya. Padahal orang yang diminta sangat tercela.
Hikmah 30 ini adalah ibarat alat untuk menilai diri sendiri. Perhatikan kecenderungan kita dalam mengajukan permintaan. Jika kita cenderung meminta dari selain-Nya, kita ajukan permintaan kepada sesama makhluk, itu tanda hati kita berpaling jauh dari Allah. Hati kita merasakan seolah olah makhluk memiliki kuasa penentu sehingga hati kita tidak dapat melihat pada kekuasaan Tuhan. Cermin hati kita dibaluti oleh awan gelap yang mengandung gambar gambar benda alam, tuntutan syahwat, permainan hawa nafsu yang melalaikan dan tumpukan dosa yang tidak dibersihkan dengan taubat. Hati yang mengalami keadaan begini dinamakan nafsu ammarah.
Nafsu ammarah tidak saja menyasar kepada orang jahil, orang alim dan ahli ibadah juga bisa menerima serangannya dan mungkin "tewas" olehnya. Agar orang alim tidak terperdaya oleh ilmunya dan ahli ibadah tidak terperdaya oleh amalnya, perhatikan tempat jatuhnya permintaan. Jika warna warni keduniaan seperti harta, pangkat dan kemuliaan yang menjadi tuntutannya dan kesungguhan usaha dan ikhtiarnya ditujukan semata mata kepada manusia dan alat dalam mendapatkan keperluannya, itu menjadi tanda bahwa hatinya berpaling jauh dari Allah. Benahilah wajah hati agar ia menghadap kepada Allah. Bila wajah hati menghadap kepada ‘Wajah’ Allah mata hati akan dapat melihat bahwa hanya Allah saja yang berkuasa sementara makhluk hanyalah bekas tempat wujudnya kesan kekuasaan-Nya.
Golongan kedua juga meminta kepada selain-Nya, yaitu walaupun dia memohon kepada Allah tetapi yang diminta adalah sesuatu selain Allah. Dia mungkin meminta agar Allah mengaruniakan kepadanya harta, pangkat dan kemuliaan di sisi makhluk. Permintaannya sama seperti golongan yang pertama cuma dia meminta kepada Allah tidak kepada makhluk. Orang yang dari golongan ini sisi baiknya ialah memohon kepada Allah agar dikaruniakan faedah faedah akhirat seperti pahala, surga dan juga keberkahan. Permintaan yang berupa faedah duniawi dan ukhrawi menunjukkan sikap minimnya rasa malu seorang hamba terhadap Allah. Orang yang seperti ini hanya melihat pada nikmat tetapi tidak mau mengenali Pemberi nikmat. Perhatikan diri kita, apakah kita asyik merengek meminta itu dan ini dari Allah. Jika sifat demikian ada pada kita, itu tandanya hati kita masih keras dan perlu dilembutkan dengan dzikrullah dan amal ibadah agar lahir sifat malu terhadap Allah yang maha lemah lembut dan maha bersopan santun.
Ada pula orang yang membuat permintaan kepada-Nya, yaitu meminta agar dia didekatkan kepada-Nya. Dia merasakan dirinya jauh dari Allah. Inilah orang yang mata hatinya tertutup, tidak dapat melihat bahwa Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri, Allah senantiasa bersamanya walau di mana dia berada. Bagaimana melihat Allah lebih dekat dari urat leher dan Allah senantiasa bersama walau di mana kita berada, tidak dapat diuraikan dengan tuntas. Ia bukanlah penglihatan mata tetapi penglihatan rasa atau penglihatan mata hati. Perhatikanlah, andai kita cenderung meminta agar didekatkan kepada Allah itu tandanya mata hati kita masih kelabu, maka sucikanlah hati dengan sembahyang, berdzikir dan ibadah ibadah lain.
Golongan keempat adalah yang mengajukan permintaan daripada-Nya. Orang ini mengakui bahwa Allah saja yang memiliki segala galanya. Hanya Allah yang berhak memberi apa yang dimiliki-Nya. Permintaan seperti ini menunjukkan kurang percayanya kepada Allah ar-Rahman, yang maha pemurah dan al-Karim, yang memberi tanpa diminta. Bukankah ketika kita di dalam kandungan ibu, kita belum pandai meminta tetapi Allah telah memberi yang sebaik baiknya untuk kita. Allah yang telah memberi ketika kita belum pandai meminta itu jugalah Tuhan kita sekarang ini dan sifat pemurah-Nya yang sekarang ini seperti yang dahulu juga. Ketika kita belum pandai meminta, kita mempercayai-Nya sepenuh hati mengapa pula bila kita sudah pandai meminta, kita menjadi ragu ragu terhadap kemurahan-Nya? Perhatikanlah, jika kita masih meminta minta itu tandanya belum bulat penyerahan kita kepada-Nya. Penting bagi orang yang melatih dirinya untuk dipersiapkan menemui Tuhan membulatkan penyerahan kepada-Nya tanpa keraguan sedikit pun.
Ketika membahas Hikmah 29 telah diuraikan keadaan orang yang telah memperoleh hubungan dengan hakikat. Kesempatan mengalami hakikat bukanlah akhir pencapaian. Seseorang harus terus menggapai maqam keteguhan hati sebelum mencapai maqam kewalian. Pada maqam kewalian si hamba dikaruniai penjagaan dan perlindungan-Nya. Orang yang belum sampai pada keteguhan hati tidak lepas dari mengajukan permintaan kepada Allah. Permintaannya bukan lagi berbentuk duniawi atau ukhrawi tetapi yang dimintanya ialah keteguhan hati, penjagaan dan pelindungan-Nya. Permintaan orang yang berada pada peringkat ini menunjukkan dia belum bebas sepenuhnya dari sifat sifat kemanusiaan yaitu dia belum mencapai fana' hakiki. Orang yang berada pada peringkat ini harus berhati hati dengan pencapaiannya. Jangan terperdaya dengan perolehan ma'rifat karena ma'rifat itu juga merupakan ujian.
Ketahuilah jika seseorang mendatangi Allah berbekalkan amal maka Allah menyambutnya dengan perhitungan. Jika amalnya dihisab dengan teliti niscaya tidak ada satu pun yang layak dipersembahkan kepada Allah. Jika dia mendatangi-Nya dengan ilmu pengetahuan maka Allah menyambutnya dengan tuntutan. Ilmunya tidak mampu menyatakan kebenaran yang hakiki. Jika dia mendatangi-Nya dengan ma'rifat maka Allah menyambutnya dengan hujjah. Dia tidak akan dapat memperkenalkan Allah.
Oleh karena itu singkirkan tuntutan dan pilihan agar Allah tidak membuat tuntutan kepada kita. Lepaskan ilmu kita, amal kita, ma'rifat kita, sifat kita, nama kita dan segala galanya agar kita menemui Allah seorang diri tanpa secuil bekal. Jika mau mencapai keadaan ini ikhlaskan hati untuk semua amal perbuatan kita. Luruskan niat dan bersabar tanpa mengeluh atau membuat tuntutan. Kemudian naik pada ridla dengan hukum-Nya. Insya Allah kita akan menemui-Nya, yaitu pertemuan ubudiyah dengan Rububiah.
Suasana yang disebutkan di atas telah digambarkan oleh Rasulullah dengan sabda baginda yang artinya: "Tidak ada amalan anak Adam yang melebihi amalan berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla untuk dapat melepaskan dirinya dari azab Allah". Baginda juga bersabda yang artinya: "Allah 'azza wa jalla berfirman: "Barangsiapa menghabiskan waktunya berdzikir kepada-Ku, tanpa meminta kepada-Ku, niscaya Aku berikan kepadanya yang lebih utama daripada apa yang Aku berikan kepada mereka yang meminta".
Dzikir yang sebenarnya adalah penyerahan secara total kepada Allah dalam segala perkara, baik yang mengenai dunia maupun yang mengenai akhirat. Sembahyangnya, ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena Allah semata mata. Dia bersembahyang, beribadah dan melakukan sesuatu pekerjaan atau perbuatan karena mengabdikan diri kepada Allah. Sekiranya Allah tidak menjadikan surga dan neraka, juga tidak mengadakan dosa dan pahala, maka sembahyangnya, ibadahnya, pekerjaannya dan perbuatannya tetap juga serupa. Mutu kerja yang ketika dia menerima upah dan kerja yang dia tidak menerima upah adalah serupa. Hatinya tidak cenderung untuk memperhatikan upah karena apa saja yang dia lakukan adalah karena Allah. Hatinya bukan saja tidak memperhatikan upah daripada manusia, bahkan ia juga tidak mengharapkan balasan apa apa dari Allah. Kekuatan untuk mengingat Allah dan berserah diri kepada-Nya merupakan 'upah' yang sangat besar, tidak perlu lagi menuntut upah yang lain.
Hamba yang dzikirnya sudah larut ke dalam penyerahan, segala urusan hidupnya diurus oleh Tuhannya. Dia adalah ibarat bayi yang baru lahir, senantiasa dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh ibunya. Pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan Allah melebihi apa pun yang mampu dikeluarkan oleh makhluk. Hamba yang Allah masukkan ke dalam daerah pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan-Nya itu disebut wali Allah, yaitu hamba yang dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh Allah daripada lupa kepada-Nya, durhaka kepada-Nya, hilang sandaran kepada-Nya dan juga daripada gangguan makhluk-Nya.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan semoga manfaat